RSS

Makalah Agama

Haji & Umroh



MAKALAH
HAJI DAN UMROH




Disusun oleh:
Estri Ayu Adiningsih
09/XF

SMAN 1 KALASAN SLEMAN
YOGYAKARTA
2011/2012

KATA PENGANTAR

            Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat dan  hidayahnya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tanpa kurang suatu apa. Saya mengucapkan terimakasih kepada :
1.      Drs.H Tri Sugiharto selaku kepala sekolah SMAN 1 KALASAN.
2.      Ibu Nurjannah selaku guru pembimbing PAI yang telah membimbing dalam pembuatan makalah ini.
3.      Orang tua yang telah membeayai saya.
4.      Teman-teman yang telah membantu dan yang telah memberikan  dukungan kepada  saya.
Dalam pembuatan makalah ini pastinya tidaklah luput dari kesalahan sehingga saya
Menunggu kritik dan saran dari para pembaca semoga makalah ini dapat bermanfaat  kepada pembaca.

                   
Yogyakarta, mei 2012


                                                                                                                      Penyusun








DAFTAR ISI

Halaman Judul ...........................................................................................................  1              
Kata Pengantar ..........................................................................................................  2
Daftar Isi ...................................................................................................................  3
BAB I Pendahuluan ..................................................................................................  4
BAB II Isi  ................................................................................................................  5
BAB III Penutup ...................................................................................................... 31
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 32






















BAB I
Pendahuluan

Latar Belakang
Ibadah haji adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh umat islam yang mampu atau kuasa untuk melaksanakannya baik secara ekonomi, fisik, psikologis, keamanan, perizinan dan lain-lain sebagainya. Pergi haji adalah ibadah yang masuk dalam rukun islam yakni rukun islam ke lima yang dilakukan minimal sekali seumur hidup. Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan disana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sa’i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara’ (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur’an dan sunnah rasul. [2] Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim (nabinya agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Ritual sa’i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka’bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.

Rumusan masalah
-apa yang dimaksud ibadah haji ?
-bagaimana sejarah haji ?
-bagaimana cara menunaikan ibadah haji ?


BAB II
ISI
Landasan teori
a.       Dalil Naqli Haji Al-Baqarah 158
Artinya: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah[102]. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-’umrah, maka tidak ada dosa baginya[103] mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri[104] kebaikan lagi Maha Mengetahui.” * (Q.S.2: Al Baqarah, 158).
b.      (Q.S.2: Al Baqarah, 189)
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
c.       (Q.S.2: Al Baqarah, 196)
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban[120] yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu[121], sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.”



d.      (Q.S.2: Al Baqarah, 197)


Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[122], barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats[123], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa[124] dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” .











Pembahasan
Definisi
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. [1] Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain. [2]
Jenis Ibadah haji
Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah SAW memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.
    Aisyah RA berkata: Kami berangkat beribadah bersama Rasulullah SAW dalam tahun hajjatul wada. Di antara kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan ada pula yang berihram untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah ber-tahallul ketika telah berada di Baitullah. Sedang orang yang berihram untuk haji jika ia mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul sampai dengan selesai dari nahar.[3][1]
Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.[1]
    * Haji ifrad, berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah. Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan pakaian ihram di miqat-nya, orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu. Apabila ibadah haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk melaksanakan umrah.
    * Haji tamattu', mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul. Kemudian mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji, ditahun yang sama. Tamattu' dapat juga berarti melaksanakan ibadah di dalam bulan-bulan serta di dalam tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal.
    * Haji qiran, mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan. Yang dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama. Menurut Abu Hanifah, melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua thawaf dan dua sa'i.
Syarat Sah Haji
1. Agama Islam
2. Dewasa / baligh (bukan mumayyis)
3. Tidak gila / waras
4. Bukan budak (merdeka)
 Persyaratan Muslim yang Wajib Haji
1. Beragama Islam (Bukan orang kafir/murtad)
2. Baligh / dewasa
3. Waras / berakal
4. Merdeka (bukan budak)
5. Mampu melaksanakan ibadah haji
Syarat "Mampu" dalam Ibadah Haji
1. Sehat jasmani dan rohani tidak dalam keadaan tua renta, sakit berat, lumpuh, mengalami sakit parah menular, gila, stress berat, dan lain sebagainya. Sebaiknya haji dilaksanakan ketika masih muda belia, sehat dan gesit sehingga mudah dalam menjalankan ibadah haji dan menjadi haji yang mabrur.
2. Memiliki uang yang cukup untuk ongkos naik haji (onh) pulang pergi serta punya bekal selama menjalankan ibadah haji. Jangan sampai terlunta-lunta di Arab Saudi karena tidak punya uang lagi. Jika punya tanggungan keluarga pun harus tetap diberi nafkah selama berhaji.
3. Keamanan yang cukup selama perjalanan dan melakukan ibadah haji serta keluarga dan harta yang ditinggalkan selama berhaji. Bagi wanita harus didampingi oleh suami atau muhrim laki-laki dewasa yang dapat dipercaya.
Rukun Haji
Rukun haji adalah hal-hal yang wajib dilakukan dalam berhaji yang apabila ada yang tidak dilaksanakan, maka dinyatakan gagal haji alias tidak sah, harus mengulang di kesempatan berikutnya.
1. Ihram Haji, yaitu niat mulai masuk ibadah Haji, sebagai berdasarkan Hadits : “Bahwasanya amal-amal perbuatan itu dengan bemiat”.
Mengucapkan niat dan Talbiyah tidak wajib, tapi sunnah. Maka berkatalah di dalam hati dan lisannya
“Saya niat Haji dan Ihram Haji karena Allah swt, ku sambut panggilan-Mu …………” sampai akhimya.
2. Wuquf di Arafah, yaitu menghadiri walaupun hanya sejenak di sudut mana saja padang Arafah, sambil tidur atau lewat. Ini berdasar Hadiis riwayat At-Turmudziy : “Haji adalah Arafah.” Waktu pelaksanaan wuquf adalah di antara zawal matahari Arafah tanggal 9 DzulHijjah sampai terbit fajar hari Nahar (10 Dzul Hijjah).
Masjid Ibrahim dan Padang Namirah tidak masuk daerah wuquf Arafah.
Bagi kaum lelaki, Yang lebih afdlal adalah berkesungguhan memilih tempat wuquf Rasulullah saw, yaitu pada batu-batu besar yang telah sama-sama kita kenal (di lembah gunung Rahmah).
Tempat ini disebut Arafah, suatu pendapat menyebutkan karena di sinilah Adam dan Hawa berta’aruf.
Pendapat lain mengemukakan bukan begitu.
3. Thawaf Ifadlah, waktunya dimulai tengah malam hari Nahar (tgl. 10 Dzulhijjah);
Syarat-syarat Thawaf ada 6 :
a. Suci daripada hadats dan najis.
b. Tertutup aurat bagi yang kuasa menutupinya. Bila di tengah-tengah thawaf itu hilang (salah satu atau) dua syarat ini, maka menyempurnakan kembali dan boleh meneruskan thawafnya, sekalipun hal itu disengaja dan telah lama berselang.
c. Niat thawaf, untuk yang dikerjakan sebagai ibadah berdiri sendiri bukan termasuk rangkaian rukun Nusuk, sebagaimana kewajiban niat pada ibadah-ibadah yang lain; Kalau bukan sebagai berdiri sendiri, niat hukumnya sunnah.
d. Memulai thawaf dari Hajar Aswad dengan posisi belahan kiri badan bersejajaran dengan dia waktu berjalan (mengelilingi Ka’bah).
Cara mensejajarkannya adalah berdiri di samping Hajar Aswad pada titik lintasan garis lurus dengan rukun Yamaniy sekira seluruh bagian Hajar Aswad itu berada di sebelah kanannya, kemudian niat thawaf lalu bedalan (ke arah kanan) dengan menghadap Hajar Aswad sampai dia habis dari hadapan; Dalam posisi ini kemudian “hadap kanan” dan menjadilah Ka’bah berada di sebelah kirinya; Tidak boleh menghadap Ka’bah (dalam thawaf) kecuali waktu awal thawaf ini.
e. Membuat posisi sehingga Ka’bah berada di sebelah kirinya. Maka wajib seluruh badan termasuk tangan kirinya berada di luar Syadzirwan dan Hijir Isma’il -sebagai ittiba’ Rasul;
Jika tidak memakai cara-cara di atas, maka thawafnya tidak shah. Apabila sedang menghadap Ka’bah untuk misalnya berdo’a, maka hendaknya memperhatikan agar jangan sampai berjalan dahulu sekalipun sedikit sebelum kembali pada posisi Ka’bah di sebelah kirinya.
Wajib bagi orang yang mencium Hajar Aswad untuk membuat telapak kakinya tetap pada tempat semula sehingga berdiri tegak, karena di waktu menciumnya itu kepalanya masuk ke daerah bagian Ka’bah.
f. Thawaf dilakukan pada 7 kali putaran secara yakin, sekalipun pada waktu makruh; Kalau kurang walaupun hanya sedikit, maka thawafnya belum mencukupi.
4. Sa’i, yaitu lari-lari kecil dari Shafa sampai ke Marwah berputar 7 kali secara yakin.
Apabila perputarannya kurang dari 7 kali, maka sa’i belum cukup Dan bila meragukan hitungan bilangan sebelum selesai, maka mempedomani yang lebih sedikit, karena inilah yang diyakini kebenarannya.
Untuk sa’i, wajib memulai hitungan putaran pertama kalinya dari Shafa dan berakhir di Marwah, sebagai ittiba’ Rasulullah saw. Jikalau memulai dari Marwah, maka perjalanannya sampai Shafa tidak terhitung, dan barulah sekembalinya dari Shafa ke Marwah bisa dihitung satu kali, dan dari Marwah ke Shafa putaran yang ke duanya.
5.  Memotong rambut kepala, baik mencukur sampai pendek (habis) maupun hanya memotong sedikit, karena berada di sinilah letak Tahallul.
Paling tidak, cukuplah melakukannya pada 3 helai rambut; Tentang Rasulullah saw mencukur seluruh rambut kepala beliau, adalah untuk menerangkan yang lebih afdlal. Lain halnya menurut orang yang memeganginya sebagai dasar kewajiban mencukur seluruh rambut kepala-;
Bagi kaum wanita memotong sebagian adalah lebih utama daripada mencukurnya sampai pendek.
Kemudian memasuki Makkah setelah melempar Jumrah Aqabah dan potong rambut, lalu melakukan thawaf rukun (thawaf ifadlah), kemudian sa’i jika belum, dilakukan setelah thawaf qudum sebagaimana yang afdlal itu.
Potong rambut, thawaf dan sa’i adalah tidak ada batas akhir waktunya; Namun makruh mengakhirkannya sampai lewat tanggal 10 Dzul Hijjah, dan lebih makruh lagi sampai setelah hari Tasyriq (11 – 13 DzulHijjah), dan lebih-lebih setelah ke luar dari Makkah.
6. Tertib, yaitu ihram didahulukan daripada rukun-rukun yang lain, wukuf daripada thawaf ifadlah dan memotong rambut; dan thawaf ifadlah daripada sa’i, jika belum dilakukan setelah thawaf qudum;
Dasarnya sebagai ittiba’ Rasulullah saw.
Rukun-rukun tersebut tidak bisa diganti dengan Dam (denda); Enam rukun Haji di atas, selain wuquf di Arafah, adalah juga rukun Umrah, karena pencakupan pada dalil-dalilnya. Dan jelas, potong rambut rukun Umrah wajib diakhirkan dari pada sa’i; serta wajib tertib untuk semua rukun-rukun Umrah.

Wajib Haji ada 5
Wajib yang dimaksudkan di sini adalah suatu perbuatan yang bila tertinggal, maka wajib membayar fidyah (sedang Haji-nya tetap syah).
1. lhram dari Miqat (batas tempat mulai Ihram). Bagi penduduk Makkah, miqat Hajinya dari tempatnya sendiri. Miqat Haji dan Umrah bagi pendatang dari arah Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dinamakan Bi’ru Aliy. Dari Syam, Mesir dan daerah-daerah Maghrib (daerah sebelah Barat) adalah di Juhfah; Dari Tihamatul Yaman adalah Yalamlam dan dari Hijaz adalah Qamu;Dari arah daerah-daerah Timur, miqatnya di Dzati irqin.Miqat Umrah bagi orang yang ada di tanah Haram adalah dari daerah Halal; Tempat yang paling afdlal ialah Ji’ranah, kemudian Tan’im barulah Hudaibiyah.
Miqat untuk para pendatang yang tidak melewati jalanan miqat-miqat di atas, adalah dari tempat-tempat yang sejajar dengan miqat-miqat tersebut bila terdapat pesejajarannya di darat maupun di laut; Kalau tidak terdapat, maka dari jarak 2 Marhalah dari Makkah.
Maka pendatang lewat laut dari arah Yaman, miqatnya dari Syi’bil Muharram yang bersejajaran dengan Yalamlam; Ia tidak boleh menunda Ihram hingga masuk Jeddah; Lain halnya menurut fatwa Guru kita yang memperbolehkan penundaan tersebut, dengan alasan bahwa jarak Jeddah ke Makkah sama dengan yalamlam sampai Makkah.
Apabila baru mulai Ihram setelah lewat miqatnya sekalipun karena lupa atau tidak mengetahui, maka wajib membayar Dam selama tidak mengulanginya kembali dari miqat yang bersangkutan sebelum tersela-selai dengan Nusuk sekalipun berupa Thawaf eudum. Dan berdosa bila hal itu dilakukan oleh selain orang lupa atau tidak mengetahui.
2. Bermalam hari di Muzdalifah sekalipun hanya sejenak, waktunya dimulai setelah tengah malam tanggal 10 Dzul Hijjah.
3. Bermalam hari di Mina pada lebih separoh malam-malam Tasyriq; Memang, jika telah berangkat (ke Makkah) sebelum tenggelam matahari tanggal 12 Dzulhijjah, maka telah cukup dan gugurlah kewajiban bermalam hari di Mina tanggal 13 nya serta melontar Jumrah di siang harinya. Hanya sanya kewajiban bermalam di Mina tersebut adalah bagi selain para penggembala dan para petugas air minum.
4. Melempar Jumrah Aqadah 7 kali setelah habis tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, dan juga melontar 3 Jumrah masing-masing 7 kali setelah zawal di setiap hari Tasyriq dengan tertib di antara 3 Jumrah tersebut (Jumrah Ula lalu Jumrah Wustha lalu Aqabah). Pelontaran tersebut dilakukan memakai apa saja yang disebut batu, sekalipun batu akik atau permata balur.
Apabila pada suatu hari tidak me lakukan pelontaran Jumrah (sedangkan belum berangkat ke Makkah), maka wajib menambalnya pada hari-hari Tasyriq berikutnya; Kalau tidak, maka wajib membayar Dam sebab telah meninggalkan melontar 3 Jamrah atau bahkan lebih.
5. Thawaf Wada’ bagi selain orang haidl dan orang Makkah yang tidak akan ke luar Makkah seusai Hajinya. Ini adalah thawaf sebagai ucapan selamat tinggal, karena akan meninggalkan Makkah. Di dalam kitab at Taqrib karya imam Abu Syuja’ Thawaf Wada’ ini dimasukkan ke dalam sunnah haji, namun di dalam syarahnya (judul terjemah: Fikih Islam Lengkap, Dr. Musthafa D Al-Bugha) disebutkan bahwa menurut pendapat yang paling jelas, hukum Thawaf Wada’ adalah wajib haji. Di sini kitab Fathul Mu’in memasukkannya sebagai wajib haji.
6. Meninggalkan larangan haji. Larangan-larangan haji disebutkan di bagian bawah.
Kewajiban-kewajiban Haji ini bisa ditambal dengan Dam Kewajiban ini disebut juga dengan Sunnah Ab’adl.


Niat ibadah haji
Doa selesai ibadah haji
Ada beberapa hal yang dilarang ketika sedang Ihram, antara lain :
1.    Bagi setiap laki-laki tidak boleh memakai pakaian yang ada jahitannya.
Ibnu Umar r.a. berkata seorang sahabat telah bertanya (kepada Nabi Saw.), ”Wahai utusan Allah, pakaian apa yang boleh dikenakan bagi orang yang berihram?” Jawab beliau, ”Tidak boleh mengenakan baju, sorban, celana topi dan khuf  (sarung kaki yang terbuat dari kulit), kecuali seseorang yang tidak mendapatkan sandal, maka pakailah khuf, namun hendaklah ia memotongnya dari bawah dua mata kakinya; dan janganlah kamu mengenakan pakaian yang dicelup dengan pewarna atau warna merah.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:401 no:1542, Muslim II:834 no:1177, ’Aunul Ma’bud V:269 no:1806, dan Nasa’i V:129).Dan diberi keringanan bagi orang yang tidak memiliki kecuali celana panjang dan khuf agar mengenakan keduanya tanpa harus memotong. Ini didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas r.a. bertutur, saya pernah mendengar Nabi saw. berkhutbah di ’Arafah, ”Barangsiapa yang tidak mendapatkan sandal, maka pakailah khuf; dan barangsiapa yang tidak mendapatkan kain panjang maka pakailah celana [beliau mengucapkan hal ini untuk orang yang berihram].”
(Bukhari wa Muslim: Fathul Bari IV:57 no:1841, Nasa’i V:132, Muslim II:835 no:1178, Tirmidzi II:165 no:835, dan ‘Aunul Ma’bud V:275 no:1812).
2.    Bagi setiap laki – laki tidak boleh memakai sepatu yang sampai menutupi mata kakinya.
3.    Bagi setiap laki-laki tidak boleh menutupi kepala baik sebagian ataupun seluruhnya.
Hal ini mengacu kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., ”Tidak boleh memakai baju dan tidak (pula) sorban.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:1012).
Namun boleh berteduh di bawah kemah dan semisalnya, karena dalam hadits riwayat Jabir ra yang telah dimuat dalam beberapa halaman sebelumnya bahwa Nabi saw.  menyuruh (seorang sahabat) menyediakan kemah, lalu dipasanglah kemah untuk beliau di Namirah, kemudian beliau singgah di dalamnya).
4.    Bagi setiap wanita tidak boleh menutup wajahnya.
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Nabi Muhammad bersabda, ”Janganlah seorang perempuan yang berihram mengenakan cadar dan jangan (pula) menggunakan kaos tangan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:1022, Fathul Bari IV:52 no:1838, ’Aunul Ma’bud V:271 no:1808, Nasa’i V:133, dan Tirmidzi II:164 no:834).
Namun boleh bagi perempuan menutup wajahnya bila ada sejumlah laki-laki yang lewat di dekatnya.
Dari Hisyam bin ‘Urwah dari Fathimah binti al-Mundzir bahwa ia pernah bertutur, “Kami pernah menutup wajah kami sewaktu kami berihram, dan kami bersama Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq.” (Shahih: Urwa-ul Ghalil no:1023, Muwattha’ Imam Malik hal.224 no:724, dan Mustadrak Hakim I:454).
5.    Bagi setiap wanita tidak boleh memakai kaos tangan.
6.    Bagi setiap wanita tidak boleh membuka tutup kepala baik sebagian atau seluruhnya.
7.    Memakai wewangian
berdasarkan hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., “Dan, janganlah kamu mengenakan pakaian yang dicelup dengan ra’faran (kumkuka) atau dengan waras (sebangsa celupan berwarna merah).” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III:401 no: 1542, Muslim II:834 no: 117, ‘Aunul Ma’bud V:269 no:1806, dan Nasa’i V:129)
Dan, sabda Rasulullah saw. tentang seorang yang berihram yang terlempar dari atas untanya hingga wafat, ”Janganlah kalian memulurinya (dengan balsam) agar tetap awet dan jangan (pula) menutup kepalanya; karena sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat (kelak) dalam keadaan membaca talbiyah.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III:135 no:265, Muslim II:865 no:1206, ’Aunul Ma’bud IX:63 no:3222-3223, dan Nasa’i V:196).
8.    Memotong kuku dan rambut / bulu badan.
Allah SWT berfirman, “…Dan janganlah kamu mencukur rambutmu, sebelum binatang hadyu sampai di lokasi penyembelihannya….” (Al-Baqarah:196).
Di samping itu, para ‘ulama sepakat atas haramnya memotong kuku bagi orang yang sedang berihram. (al-Ijma’ oleh Ibnul Mundzir hal. 57). Boleh saja menghilangkan rambut bagi orang yang merasa terganggu dengan adanya rambut tersebut, namun ia harus membayar fidyah, Allah SWT menegaskan, “… Jika ada diantar kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya bayar fidyah, yaitu berpuasa atau berhadaqah atau berkorban….” (Al-Baqarah:196). Dari Ka’ab bin ’Ujrah r.a. bahwa Nabi saw. melewatinya ketika ia berada di daerah Hudaibiyah sebelum masuk Mekkah dan ia sedang berihram ketika menyalakan api di bawah kualinya, sementara kutunya berkeliaran di wajahnya, lalu beliau bertanya, ”Apakah kutumu ini mengganggumu?” Jawabnya, ”Ya, (menggangu),” Sabda beliau (lagi), ”Maka cukurlah rambutmu dan berilah makan tiga sha’ makanan (yang dibagi bagi) antara enam orang miskin, atau berpuasalah tiga hari atau berkurban seekor binatang kurban!” (Muttafaqun ’alaih: Muslim II”861 no:83 dan 1201 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV:12 no:1814 ’Aunul Ma’bud V:309 no:1739, Nasa’i V:194, Tirmidzi II:214 no:960 dan Ibnu Majah II:1028 no:3079).
9.    Membunuh atau memburu binatang darat.
Allah SWT berfirman, “Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram.” (Al-Ma-idah:96). Di samping itu, ada sabda Nabi saw, yaitu tatkala beliau ditanya oleh para sahabat yang sedang berihram perihal seekor keledai betina yang ditangkap dan disembelih oleh Ibu Qatadah yang tidak ikut berihram. Maka jawab beliau, “Adakah seorang di antara kamu sekalian yang menyuruh dia (Abu Qatadah) agar menangkapnya, atau memberi isyarat ke tempat binatang itu?” Maka jawab mereka, “Tidak ada.” Sabda beliau (lagi), “Maka makanlah!” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V:28 no:1824, Muslim II:853 no:60 dan 1196, Nasa’i V:186 sema’na).
10.    Memotong atau mencabut tanaman di tanah Haram.
11.    Nikah atau menikahkan.
Berdasarkan hadits Utsman dari Usman r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Orang yang berihram tidak boleh menikahi, tidak boleh dinikahi, dan tidak boleh melamar.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:814, Muslim II:1030 no:1409, ’Aunul Ma’bud V:296 no:1825, Tirmidzi II:167 no:842, dan Nasa’i V:192).
12.    Bercumbu rayu dan bersetubuh.
13.    Mencaci-maki atau mengucapkan kata-kata kotor.
Wukuf di Arafah
Wuquf berasal dari kata ”Waqafa” yang artinya ”berhenti”. Dengan mengenakan pakaian ihram, jamaah haji melaksanakan Wukuf atau berdiam di padang Arafah sejak matahari tergelincir tanggal 9 Dzulhijah sampai sebagian malam atau terbit fajar 10 Dzulhijah.
Wukuf dinilai sah walaupun hanya mendapat sesaat selama rentang waktu tersebut, lebih utama bila bisa mendapatkan sebagian waktu siang dan sebagian waktu malam. Selama wukuf, tidak perlu suci dari hadas besar atau kecil sehingga dapat diikuti oleh wanita haid.
Padang Arafah terletak 25 km sebelah Timur Mekah, adalah hamparan padang pasir dan batu yang luasnya sekitar 3,5 X 3 km yang dikelililingi bukit batu berbentuk setengah lingkaran. Kondisinya saat ini sudah tidak terlalu gersang karena banyak ditanami tumbuhan dan fasilitasinfrastrukturjalan,listrik,danair. Di tengah padang Arafah terdapat bukit kecil bernama Jabal Rahmah yang merupakan tempat pertemuan antara Nabi Adam as dan Siti Hawa setelah berpisah 200 tahun akibat diusir dari syurga. Puncak Jabal Rahmah tersebut kini ditandai dengan sebuah tugu. Di Jabal Rahmah inilah Nabi Muhammad menyampaikan perpisahan kepada kaum muslimin dalam khutbah Arafah. Tempat ini dinamakan Arafah dari akar kata ‘Ta’aruf’ yang menggambarkan tempat dimana Adam dan Hawa bertemu dan saling mengenal kembali. Menurut riwayat Nabi Adam diturunkan di India sedangkan Siti Hawa di Iraq. Setelah bertemu di Jabal Rahmah mereka kemudian menetap di Mekkah dan mengembangkan keturunannya di sana. Peristiwa pertemuan di Padang Arafah diabadikan setiap tahun oleh Nabi Adam dan diteruskan oleh keturunannya sebagai ibadah sampai sekarang. Di sini juga tempat Jibril mengajari Ibrahim manasik haji. Setelah selesai, Jibril bertanya kepada Ibrahim “sudah mengertikah engkau?” Yang dijawab oleh Ibrahim “Arraftu” yang artinya ya aku mengerti. Makna lain Arafah adalah tempat dimana manusia mengakui dosa dan kesalahannya “Ya’tarifuun”. Dalam Al Qur’an disebutkan “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masr’aril Haram” (2:198). Di Arafah turun Ayat terakhir Al Qur’an yaitu surat Al Maidah ayat 3 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhoi Islam jadi agamamu”. Saat itu banyak sahabat yang menangis karena menyadari bahwa tak lama lagi rasulullah akan dipanggil oleh Allah meninggalkan mereka.
Kegiatan selama wukuf dapat dilakukan di dalam atau di luar tenda berupa: Mendengar khutbah, dzikir, talbiyah, istighfar, Berdo’a sambil menghadap kiblat dengan mengangkat kedua belah tangan, diselingi makan/minum. Sholat Dhuhur dan Ashar dilaksanakan secara jama’ taqdim dan qashar.
Pada waktu Wukuf, Arafah menjadi tempat terbaik di muka bumi untuk dipenuhkannya semua do’a yang dipanjatkan. Sabda Rasulullah SAW :
“Doa paling afdhal adalah doa di hari Arafah”.
“Tidak ada hari yang paling banyak Allah menentukan pembebasan hambanya dari doasa kecuali hari Arafah”.
Doa terbaik waktu itu adalah :
لاَاِلــهَ اِلاَّ اللهُ وَحْـدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ,لَهُالْمُلْكُوَلَهُلْحَمْدُوَهُوَعَلَىكُلِّشَيْئٍقَدِيْرٌ
Wukuf di Arafah merupakan simulasi dari Padang Makhsyar di akhirat kelak. Kita akan merasa kecil di hadapan Allah. Siapapun akan menguraikan airmata mengingat berbagai dosa yang telah dilakukan dan adanya jaminan Allah untuk menghapuskannya pada hari Arafah.

”Ya Allah jadikan kami orang yang Kau banggakan di hadapanMu. Ampunilah kami, ampuni kedua orang tua kami, anak saudara kami, berikan berkahmu pada negeri kami. Bimbinglah kami, wafatkan kami dalam keadaan khusnul khotimah dan bantulah kami melawan orang-orang kafir”.
Manfaatkanlah kesempatan tersebut untuk saling meminta maaf kepada pasangan kita. Berdoalah bersama kepada Allah terkait masa depan yang ingin dirajut bersama, sekaligus meminta restu dari Allah yang menyaksikan saat Wukuf tersebut dengan penuh kebanggaan. Allah berkata kepada malaikat “Lihatlah hamba-hambaKu! Mereka datang kepadaKu dengan rambut kusut dan berdebu karena berharap rahmatKu. Maka Aku bersaksi kepadamu bahwa Aku telah mengampuni mereka” (HR Ahmad dan Thabrani).
Wukuf di Arafah dilaksanakan saat matahari memancarkan sinar paling terik dalam suasana terang benderang yang mensimbolkan pengetahuan, sains dan wawasan serta menggambarkan hubungan objektif antara pemikiran dan fakta di dunia. Dari pelaksanaan wukuf, kita merasakan betapa luas rahman dan rahim Allah kepada hambanya. Kasih sayangnya tercurah tanpa membedakan ras, kedudukan dan status sosial.
Dengan jaminan pengampunan dosa dari Allah, maka terlepaslah diri dari berbagai beban dosa yang menghimpit sehingga muncul semangat untuk melakukan amal ibadah dan kebajikan yang lebih baik dan dahsyat sepulangnya dari haji. Dosa yang sulit dihilangkan bisa rontok karena hanya dapat dibersihkan dengan wukuf di Arafah. Sabda Rasul ”Di antara berbagai dosa, ada dosa yang tidak akan tertebus kecuali dengan wukuf di Arafah”.
Saat matahari terbenam, wukuf di Arafah berakhir. Tak ada yang dapat dilihat dalam kegelapan sehingga dalam kegelapan tidak ada pengetahuan. Berlatar belakang matahari yang sedang terbenam, jutaan manusia berbondong-bondong meninggalkan Arafah dengan mulut yang basah oleh kalimat takbir menuju Masy’aril Haram atau negeri kesadaran dan berhenti di sana untuk mengumpulkan kekuatan dan senjata.

MABIT DI MUZDALIFAH
Jarak dari Arafah ke Muzdalifah hanya 4 km namun bisa ditempuh berjam-jam akibat padatnya lalu lintas. Mabit di Muzdalifah dilaksanakan mulai matahari terbenam sampai lewat tengah malam 10 DDzulhijah, boleh juga sesaat asal sudah lewat tengah malam dan tidak harus turun dari kendaraannya. Bagi yang udzur boleh meninggalkan Muzdalifah malam itu juga tanpa dikenakan dam.
Kegiatan yang dilaksanakan selama di Muzdalifah adalah :
Shalat Magrib & Isya Jama’ takhir.
Istirahat : berdiam diri, berdoa, dzikir, talbiyah, istighfar
Mengambil kerikil sebanyak 70 butir untuk melontar Jumrah Aqobah.
Tidur sampai Subuh.
Di Muzdalifah, semua jamaah haji duduk di padang pasir dengan beratapkan langit. Tidak ada tenda, tidak ada dinding, tidak ada pintu dan atap. Namun Muzdalifah malam itu menjadi tempat yang mustajab. Di tengah kegelapan malam, jamaah haji menjadi pasukan dan pejuang Tauhid yang merangkak mencari batu kerikil untuk menjadi senjata di Mina. Tatkala mencari batu, berdialoglah dengan Allah. “ Ya Allah, dunia yang aku cari selama ini bagaikan batu yang aku pungut. Ampuni aku ya Allah yang lebih cinta dunia daripada kepadaMu. Terangi hati kami di dunia ini.”
Mabit di Muzdalifah mengandung hikmah berupa perlunya memiliki ‘kesadaran’ yang diperoleh dengan berkonsentrasi dalam kegelapan dan keheningan malam. Kesadaran tidak dapat dipelajari di buku, sekolah atau universitas, melainkan didapat di medan jihad. Untuk mendapat Kesadaran tidak diperlukan cahaya. Di Masy’ar kita berhenti untuk berfikir, menyusun rencana, menguatkan semangat, mengumpulkan senjata dan menyiapkan diri untuk terjun ke medan juang berperang melawan Syetan yang akan dilaksanakan esok pagi setelah matahari menyingsing di Mina.
Pengambilan batu di Muzdalifah di tengah kegelapan malam merupakan symbol agar menjelang perang melawan syetan, kita harus mempersiapkan diri dan senjata secara rahasia, seksama dan tidak tergesa-gesa dalam gelap malam dengan diterangi oleh pengetahuan yang diperoleh dari Arafah. Jamaah haji boleh melintasi tapal batas Muzdalifah bila telah lewat tengah malam.
Selepas dari Muzdalifah ada 2 opsi perjalanan:
Langsung menuju Mina untuk melempar jumrah aqabah lalu tahalul awal sambil mengatur waktu untuk thawaf dan sa’i ke Masjidil Haram.
Menuju ke Mekah terlebih dahulu untuk melaksanakan thawaf ifadhah, sa’I dan tahallul awal baru menuju Mina untuk melontar jumrah aqobah.
Kedua opsi tersebut dipilih dengan mempertimbangkan kondisi lalu lintas dari Muzdalifah ke Mina atau ke Mekkah yang sangat padat. Walaupun jalan dari Mekah ke Mina, Muzdalifah dan Arafah sangat lebar yang terdiri dari jalur untuk kendaraan maupun untuk pejalan kaki, namun kondisi pada saat musim haji sangat padat, sehingga jarak yang tidak terlalu jauh harus dijalani dalam waktu yang lama dan memerlukan kesabaran tinggi. Yang pasti pada tanggal 10 Dzulhijah, jamah haji harus melakukan Lontar jumrah Aqobah.

MELONTAR JUMRAH AQOBAH di MINA
Dari Muzdalifah, jamaah haji bergerak menuju Mina dengan target melontar Jumrah Aqobah setelah terbit matahari. Perjalanan dari Muzdalifah ke Mina sebenarnya tidak terlampau jauh (kl 7 Km), namun bisa memakan waktu berjam-jam karena kondisi jalan yang padat. Karena itu beberapa jamaah haji lebih memilih berjalan kaki dengan waktu tempuh sekitar 2.5 jam.

Fase terlama dalam ibadah haji berlangsung di Mina yang melambangkan Harapan, cita-cita dan Cinta. Sesampai di Mina, beristirahatlah sejenak di tenda sambil mempersiapkan diri untuk menuju jamarat. Siapkan diri dan senjata yang telah disiapkan di Muzdalifah untuk memerangi simbol Syetan yang dilambangkan dengan sebuah tugu di Jamarat.

Momen ibadah haji yang paling agung tiba pada hari ke-10 Dzulhijah saat matahari membangunkan para prajurit tauhid dari tidurnya. Setelah menghabiskan malam sebelumnya dengan mengumpulkan senjata, berkomunikasi dengan Allah dan menunggu terbitnya matahari di Muzdalifah, di Mina mereka menjadi para prajurit yang secara bergelombang bermanuver menuju Jumrah untuk melakukan serangan. Berjalanlah dengan semangat bergelora dan bacalah Talbiyah untuk menyatakan kesiapan kita menyambut panggilan Allah. Siapkan 7 butir batu dengan target Jumrah Aqobah.
Jumrah pertama dan jumrah yang kedua, lewati saja, karena target kita adalah Jumrah Aqobah sebagai Penghulu dari jumrah lain dan simbolisasi dari Setan Besar.
Ketika melihat Jumrah Aqobah, carilah posisi terbaik untuk dapat melempar Jumrah dengan tepat. Bidiklah dengan 7 batu yang kita siapkan dari Muzdalifah. Untuk setiap lemparan bacalah doa “Rojman lis Syaitoni wa ridho lir rohman. Bismillahi Alloohu akbar”.

Tujuan Jumrah sebenarnya bukan untuk melempar setan yang ada di sana atau yang dulu menggoda Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah. Makna sebenarnya adalah merupakan ikrar dan keberanian yang kita tunjukkan kepada Allah untuk melemparkan semua jenis godaan dan maksiat yang ada di sekeliling kita yang menggoda kita dalam menunaikan perintah Allah.
Selesai melontar Jumrah aqobah, carilah tempat yang aman kemudian menghadap Ka’bah untuk berdo’a menurut keperluan masing-masing dan diakhiri dengan do’a:
Allohummaj alhu hajjan mabruuron wa sa’yan masykuro wa dzanban maghfuuro wa’ amalan shoolihan makbuulan”.
“Ya Allah, jadikanlah ibadah hajiku haji yang mabrur dan sa’I yang diterima, dosa yang diampuni dan amalan shaleh yang dikabulkan “.
Setelah melaksanakan Jumrah Aqabah maka dilakukan penyembelihan hewan qurban dan Tahallul awwal sehingga jamaah boleh berganti pakaian biasa. Semua larangan dalam Ihram sudah diperbolehkan kembali, kecuali hubungan suami istri.
Jamaah akan tinggal di Mina selama 2 atau 3 hari sambil mengatur waktu untuk ke Mekkah melaksanakan Thawaf Ifadhah dan Sa’i yang diakhiri dengan Tahallul tsani.
Melontar Jumrah mengandung hikmah bahwa jika kita akan melaksanakan perintah Allah untuk berbuat kebaikan, maka syetan tidak akan berdiam diri. Dengan berbagai cara dan upaya dia akan berupaya menggoda agar kita mengurungkan niat tersebut. Karena itu dalam setiap melakukan aktivitas hidup hendaklah selalu memohon kepada Allah agar dilimpahi dengan keikhlasan sehingga kita dapat mengatasi godaan syetan karena Godaan syetan tidak akan berlaku kepada orang yang ikhlas.
Jumrah melambangkan perjuangan dahsyat bahwa untuk mencapai tujuan maka kita harus melawan syetan sehingga memerlukan kecerdikan, keberanian dan keikhlasan melawan tantangan syetan yang ditunjukkan dengan pelemparan batu. Syetan adalah makhluk yang gigih dalam melaksanakan keinginannya dan masuk ke dalam diri manusia melalui berbagai cara dari depan, belakang, kiri, kanan, atas, dan bawah bahkan masuk ke dalam aliran darah kita. Demikian pentingnya Melontar jumrah ini sehingga tidak cukup dilakukan sekali saja melainkan harus dilakukan setiap hari selama 2 atau 3 hari.
Menurut Abdullah bin Umar, sahabat rasul yang sangat alim, Batu kerikil yang dilempar jamaah haji sewaktu melempar jumrah akan diangkat ke langit oleh malaikat, namun hal tersebut hanya berlaku bagi yang hajinya diterima. Sedangkan bagi yang hajinya tidak diterima akan menetap di Jumrah untuk akhirnya dibersihkan oleh Buldoser. Bahkan Mufti Masjidil Haram, Syekh Abu Nu’man al tabrizi pernah menyaksikan batu-batu beterbangan naik ke atas langit. Bahkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata stengah dari jumlah batu yang dilempar raib sedangkan sebagiannya ditemukan di tumpukannya.

Penyembelihan Qurban
Secara harfiah Qurban berarti ‘dekat’ dan dalam konteks ini adalah dekat dengan Allah. Ibrahim a.s telah memberikan contoh kepada umat manusia mengenai makna kedekatan dengan Allah SWT tersebut.
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". (Al Baqoroh : 131)
Beliau memberikan contoh sempurna mengenai ketundukan dan kepatuhan yang tulus sebagai wujud dari kedekatan itu. Ibrahim a.s. bersama Ismail a.s., telah membuktikan kepada seluruh umat manusia bahwa jika manusia itu bersedia untuk istiqomah dalam ketundukan dan kepatuhan yang tulus, maka godaan atau cobaan yang betapapun hebatnya akan senantiasa dapat diatasi. Beliau berdua telah menempatkan kepatuhan kepada Allah di atas cinta kasih atau keinginan kepada apapun dan siapapun juga.
Di saat sang putera, yang senantiasa didambakan kehadirannya melalui do’a yang panjang, menginjak usia dewasa datanglah ujian yang luar biasa beratnya kepada Ibrahim a.s., sang ayahanda, melalui mimpinya untuk menyembelihnya. Maka berkatalah sang ayahanda itu kepada putera kesayangannya: “Wahai Ismail, tadi malam melalui mimpi aku menerima perintah Allah yang sangat berat. Aku diperintahNya untuk menyembelih engkau, anakku, dengan kedua tanganku sendiri. Kini aku meminta peritmbanganmu, bagaimana sikap kita terhadap perintah itu?”.
Ismail hanya membutuhkan waktu sekejap mata untuk merenungkan ucapan ayahandanya dan kemudian diucapkanlah: “Wahai ayahku laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, Engkau akan saksikan daku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar (Ash-Shaaffaat[37]: 102)
Maka pada saat mereka telah berada di puncak penyerahan diri secara total, ketika Ibrahim a.s. telah dengan mantap meletakkan pedang di atas leher anak kesayangannya, Allah SWT pun berfirman “Wahai Ibrahim, sungguh telah engkau laksanakan perintah dalam mimpi itu dengan benar. Kami pasti menganugerahkan balasan kemuliaan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Sungguh ini adalah ujian yang nyata. Maka Kami mengganti Ismail dengan seekor hewan sembelihan yang besar (Ash-Shaaffaat[37]: 104-107)
“Dan Kami abadikan nama baik Ibrahim, sebagai teladan bagi generasi kemudian. Kedamaian dan kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrahim. Begitulah kami karuniakan balasan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Sesungguhnya ia adalah hamba kami yang benar-benarberiman(Ash-Shaaffaat[37]:108-111)”

Allah mengabadikan peristiwa besar ini untuk dikenang dalam bentuk perintah Qurban kepada kaum mu’minin yang mampu, dengan menyembelih sapi, kambing atau unta. Penyembelihan hewan tersebut tidak dimaksudkan sebagai persembahan kepada Allah, karena Dia tidak membutuhkan apapun juga.
Penyembelihan hewan qurban sebagai pengganti Ismail, menunjukkan bahwa Allah yang menjadi Tuhan kita bukanlah tuhan yang haus darah. Tidak seperti Tuhan yang digambarkan orang Musyrik yang sering mengurbankan manusia untuk Tuhan yang mereka percaya membutuhkannya. Dengan demikian mulai saat itu tidak boleh lagi ada pengurbanan dalam bentuk manusia untuk Allah.
Perintah menyembelih Ismail hanyalah ujian bagi Ibrahim apakah lebih mencintai Allah atau mencintai putranya, dan Ibrahim membuktikan kecintaannya kepada Allah dengan menjalankan perintah Allah dan mengatasi godaan syetan yang tiga kali menghampirinya.

Jika Ibrahim bersedia mengorbankan yang paling dicintainya yaitu ‘Ismail’ maka kitapun diminta hal yang sama yaitu mengorbankan apa yang menjadi sosok ‘Ismail’ yang paling kita cintai. “Ismail” yang harus dikorbankan disimbolkan dengan penyembelihan hewan Kurban, sebagai simbol menyembelih sifat kebinatangan yang ada pada diri kita seperti mau menang sendiri, rakus, buas, serakah dan memakan yang lemah. Seorang yang telah berkurban, namun sifat-sifat kebinatangan masih bercokol dalam dirinya, berarti ia belum berkurban dalam arti yang sesungguhnya.
Daging dan darah Hewan kurban bukan untuk Allah, karena semua tidak akan sampai kepada Allah, melainkan untuk dibagikan kepada fakir miskin. Hanya keikhlasan dan ketaqwaan dari orang yang berkurban saja yang akan sampai kepada Allah. Untuk mendekati Allah maka kita harus mendekati para fakir miskin dan kaum dhuafa.
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al-Hajj[22]: 37)”
Kisah heroik Nabi Ibrahim yang bersedia menyembelih Ismail menandai keikhlasan beliau untuk menyembelih hawa nafsunya. Rasa cintanya kepada Tuhan melebihi segala-galanya, bahkan kepada darah dagingnya sendiri. Isyarat yang dapat kita tangkap dari sekelumit kisah di atas adalah mendidik umat manusia untuk rela berkorban. Bahkan jika merujuk pada terminologi Alquran, menyedekahkan sesuatu yang paling kita cintai adalah prasyarat mutlak untuk merengkuh derajat takwa.
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 177).
Mabit di mina
Pelaksanaan Mabit di Mina dapat dilakukan selama 2 hari (Nafar Awal) atau 3 hari tasyriq (Nafar Tsani). Kita dapat memilih kedua alternatif sesuai pilihan kita, walaupun Rasulullah sendiri memilih melakukan Nafar Tsani. Mabit di Mina tidak harus dilakukan semalaman penuh. Asal berada di Mina melebihi separuh malam, misalkan pukul 20.00 s.d 03.00 atau 21.00 s.d 04.00, maka mabit sudah sah. Bila tidak mabit di Mina seluruh hari tasyrik, wajib membayar dam (satu ekor kambing) sementara Bila tidak mabit di Mina dalam satu atau dua malam, harus bayar denda yaitu 1 malam satu mud (3/4 kg beras), dua malam dua mud (1 ½ kg beras). Selama di Mina Jamaah Haji menginap di tenda dengan kondisi darurat. Makan dan menggunakan toilet harus antri, tidurpun dalam kondisi berdesakan. Kondisi demikian merupakan batu ujian keikhlasan bagi jamaah haji. Tidak sedikit jamaah yang kurang kuat kesabarannya akhirnya melakukan rafats, fusuq dan Jiddal hanya karena hal-hal sepele. Di sinilah kita harus berhati-hati agar kemabruran haji kita tetap terjaga. Namun di balik segala kondisi darurat dan keterbatasan tersebut, justru Mina pada waktu itu adalah tempat terbaik di bumi untuk diisi dengan berdzikir, berdoa, istighfar. Pada tanggal 11 hingga 12 atau 13 Dzulhijah, jamaah setiap hari harus melontar 3 jumrah yaitu Jumrah Ula, Jumrah Wustho dan Jumrah Aqobah masing-masing dengan 7 batu kerikil dengan waktu melontar dimulai sejak terbit matahari hingga malam hari. Prosesi jumrah merupakan aktivitas yang cukup berbahaya karena sering menyebabkan korban manusia karena harus berdesakan dengan jutaan manusia. Beberapa jamaah menyalah artikan prosesi ini sebagai pelemparan syetan yang sebenarnya sehingga dilaksanakan dengan penuh emosi dan histeris bahkan dengan menabrak sesama jamaah haji sehingga menimbulkan korban. Namun kini tempat pelontaran jumrah telah lebih teratur dan aman karena tempatnya sudah diperluas dan jadwal waktu pelontaran diatur per maktab sehingga tidak lagi berdesakan. Bagi orang yang sudah tua atau orang yang sakit, prosesi melontar jumrah dapat diwakilkan kepada orang lain. Ketiga jumrah merupakan simbol representasi dari berhala dan kekuatan syetan yang selalu mengincar manusia dan siap menyergap agar manusia tidak melakukan apa yang dilakukan Ibrahim. Ketiga berhala melambangkan syetan dengan 3 wajah yang mewakili konsep politheisme sebagai lawan monotheisme. Ternyata konsep politheisme banyak diwujudkan dalam 3 wajah antara lain dalam bentuk Trinitas, Trimurti dan triumphirat materialisme (Fir’aun sebagai simbol penindas, Qarun sebagai simbol kapitalis dan Bal’am sebagai simbol kemunafikan).
Perang antara Monotheisme dan politheisme demikian dahsyat dan berlangsung terus hingga akhir jaman. Silih berganti keduanya berebut kepemimpinan dunia. Dalam berbagai kesempatan Politheisme menjadi pemimpin dunia. Mereka menginginkan agar kita lebih mencintai ’Ismail” dibandingkan mencintai Allah dan menyesatkan kita dari jalan Allah. Kini di Mina, dengan berperan sebagai Ibrahim, kita hancurkanlah ketiga syetan tersebut dan tembak dengan senjata yang telah kita siapkan !!!
Sebenarnya setelah Iedul Adha tanggal 10 Dzulhijah, segala bentuk ritus haji telah selesai, Syetan telah dikalahkan, kurban sudah dilaksanakan, pakaian ihram sudah ditanggalkan dan Ied Adha telah dirayakan. Namun mengapa kita diharuskan tetap bertahan dan bermalam selama Dua atau tiga hari di Mina ? Mina adalah lembah gersang, tak ada tempat menarik untuk dilihat, tak ada tempat untuk belanja dan tidak cocok ditinggali. Ketika semua orang telah pergi, Mina akan kembali menjadi daerah gersang yang tidak akan ditinggali manusia. Namun Mina adalah Negeri Cinta, perjuangan dan tempat manusia mengucapkan janji kepada Allah untuk beramar maruf nahi munkar. Selama dua atau tiga hari di Mina, jamaah haji diminta untuk merenung tentang apa yang dilakukan selama melaksanakan ibadah Haji dan meresapi makna haji. Setelah mengalahkan setan dan kembali dari tempat kurban, Allah meminta setiap orang memperbaharui perjanjian mereka dengan Allah sebagai saksi bahwa mereka akan berusaha memperkuat keyakinan Monotheis dengan menghancurkan semua berhala di dunia dan menegakkan masyarakat yang aman dan damai yang berlandaskan tauhid.  Jamaah haji diminta saling berkenalan dan mendiskusikan permasalahan UMMAH yang masih terjangkit kebodohan dan perpecahan yang mengancam persatuan dan kesatuan. Jutaan Muslim dimintai untuk tidak mengakhiri Hajinya kemudian bubar melanjutkan kehidupan pribadi masing-masing. Mereka harus duduk dan mendiskusikan berbagai problem bersama. Mereka harus berjuang untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan Global dengan mengajukan pertanyaan yang berlaku sepanjang masa ”Apa yang harus kulakukan untuk masyarakat”. Islam mengajarkan bahwa Allah membenci ahli ibadah yang mementingkan diri sendiri. Dengan melaksanakan Haji kita melaksanakan peran sebagai Ibrahim dan Ismail sebagai awal dari tugas ”Melayani Orang Lain”. Di ujung pergelaran haji, semua jamaah haji yang telah mengalahkan setan seperti yang dilakukan Ibrahim mengorbankan EGOISME dengan melakukan Muktamar agung yang beratapkan langit luas sebelum kembali ke Mekah dan kampunghalamanmasing-masing.
Tempat tempat utama ibadah haji
Makkah Al Mukaromah
Di kota inilah berdiri pusat ibadah umat Islam sedunia, Ka'bah, yang berada di pusat Masjidil Haram. Dalam ritual haji, Makkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah ini ketika jamaah diwajibkan melaksanakan niat dan thawaf haji.
Arafah
Kota di sebelah timur Makkah ini juga dikenal sebagai tempat pusatnya haji, yiatu tempat wukuf dilaksanakan, yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah tiap tahunnya. Daerah berbentuk padang luas ini adalah tempat berkumpulnya sekitar dua juta jamaah haji dari seluruh dunia. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.
Muzdalifah
Tempat di dekat Mina dan Arafah, dikenal sebagai tempat jamaah haji melakukan Mabit (Bermalam) dan mengumpulkan bebatuan untuk melaksanakan ibadah jumrah di Mina.

Mina
Tempat berdirinya tugu jumrah, yaitu tempat pelaksanaan kegiatan melontarkan batu ke tugu jumrah sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Dimasing-maising tempat itu berdiri tugu yang digunakan untuk pelaksanaan: Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha. Di tempat ini jamaah juga diwajibkan untuk menginap satu malam.

Madinah
Adalah kota suci kedua umat Islam. Di tempat inilah panutan umat Islam, Nabi Muhammad SAW dimakamkan di Masjid Nabawi. Tempat ini sebenarnya tidak masuk ke dalam ritual ibadah haji, namun jamaah haji dari seluruh dunia biasanya menyempatkan diri berkunjung ke kota yang letaknya kurang lebih 330 km (450 km melalui transportasi darat) utara Makkah ini untuk berziarah dan melaksanakan salat di masjidnya Nabi.
Tempat bersejarah
Berkiut ini adalah tempat-tempat bersejarah, yang meskipun bukan rukun haji, namum biasa dikunjungi oleh para jemaah haji atau peziarah lainnya[4]:
Jabal Nur dan Gua Hira
Jabal Nur terletak kurang lebih 6 km di sebelah utara Masjidil Haram. Di puncaknya terdapat sebuah gua yang dikenal dengan nama Gua Hira. Di gua inilah Nabi Muhammad saw menerima wahyu yang pertama, yaitu surat Al-'Alaq ayat 1-5.
Jabal Tsur
Jabal Tsur terletak kurang lebih 6 km di sebelah selatan Masjidil Haram. Untuk mencapai Gua Tsur ini memerlukan perjalanan mendaki selama 1.5 jam. Di gunung inilah Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar As-Siddiq bersembunyi dari kepungan orang Quraisy ketika hendak hijrah ke Madinah.
Jabal Rahmah
Yaitu tempat bertemunya Nabi Adam as dan Hawa setelah keduanya terpisah saat turun dari surga. Peristiwa pentingnya adalah tempat turunnya wahyu yang terakhir pada Nabi Muhammad saw, yaitu surat Al-Maidah ayat 3.
Jabal Uhud
Letaknya kurang lebih 5 km dari pusat kota Madinah. Di bukit inilah terjadi perang dahsyat antara kaum muslimin melawan kaum musyrikin Mekah. Dalam pertempuran tersebut gugur 70 orang syuhada di antaranya Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad saw. Kecintaan Rasulullah saw pada para syuhada Uhud, membuat beliau selalu menziarahinya hampir setiap tahun. Untuk itu, Jabal Uhud menjadi salah satu tempat penting untuk diziarahi.
Makam Baqi'
Baqi' adalah tanah kuburan untuk penduduk sejak zaman jahiliyah sampai sekarang. Jamaah haji yang meninggal di Madinah dimakamkan di Baqi', letaknya di sebelah timur dari Masjid Nabawi. Di sinilah makam Utsman bin Affan ra, para istri Nabi, putra dan putrinya, dan para sahabat dimakamkan. Ada banyak perbedaan makam seperti di tanah suci ini dengan makam yang ada di Indonesia, terutama dalam hal peletakan batu nisan [5]
Masjid Qiblatain
Pada masa permulaan Islam, kaum muslimin melakukan salat dengan menghadap kiblat ke arah Baitul Maqdis di Yerussalem, Palestina. Pada tahun ke-2 H bulan Rajab pada saat Nabi Muhammad saw melakukan salat Zuhur di masjid ini, tiba-tiba turun wahyu surat Al-Baqarah ayat 144 yang memerintahkan agar kiblat salat diubah ke arah Kabah Masjidil Haram, Mekah. Dengan terjadinya peristiwa tersebut maka akhirnya masjid ini diberi nama Masjid Qiblatain yang berarti masjid berkiblat dua.









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Haji adalah salah satu rukun islam, haji adalah ibadah yang tergabung pada-Nya antara amalan badan dan pengorbanan harta, dan haji adalah salah satu ibadah yang paling agung, yang memiliki kandungan makna, dan hikmahyang sangat luas lagi mendalam.
Haji adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat,shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dankeilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulanDzulhijjah).

Saran
Bagi umat islam yang hendak melaksanakan ibadah haji, sebaiknya mempersiapkan diri baik secara fisik maupun mental atau spiritual sebab ibadah haji merupakan ibadah yang sangat menguras tenaga disamping mental dan batin.
Ibadah haji yang dilaksanakan dengan niat ikhlas karena Allah dan sesuai ketentuan sehingga termasuk haji mabrur, tentu akan mendatangkan banyak hikmah bagfi kehidupan pribadi dan keluarga maupun bagi masyarakat,Negara dan bangsa.





DAFTAR PUSTAKA

PAI kelas X

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar